Family Khairul Rashidi: Amalan Bid`ah di Bulan Muharram

Amalan Bid`ah di Bulan Muharram

[1]. Menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, bersedih,, meratap dan menyakiti badan

Bid’ah ini dilakukan oleh kaum Syi’ah yang mengklaim sebagai pengikut Ahli Bait. Mereka lakukan hal itu untuk memperingati hari terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma (10 Muharram 61H).

Pada hari tersebut mereka berkabung, bersedih, menangis dan meratap bersama disertai dengan menampar-menampar pipi (atau menyakiti anggota badan yang lain), merobek-robek pakaian dan meneriakkan ucapan-ucapan (syi’ar-syi’ar) jahiliyah.

Padahal Allah dan RasulNya telah memerintahkan untuk bersabar, mencari pahala dan mengembalikan diri (kepada Allah) dari setiap musibah yang menimpa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” [Al-Baqarah : 155-157]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan-perbuatan di atas dalam sabdanya.
“Artinya : Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dan meneriakkan ucapan jahiliyah” {HR Bukhari no. 1232]

[2]. Menjadikan hari Asyuro sebagai hari raya, hari berbahagia dan bersenang-senang.

Bid’ah ini dilakukan oleh kaum Khawarij (Nawashib) sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh kaum Syi’ah (yang mereka nyatakan sebagai musuh).
Mereka tampakkan rasa kebahagian dan kesenangan mereka dengan memakai celak mata (ikhtihal), mewarnai rambut, tangan, atau kaki dengan inai/pacar (ikhtidhab), menambah nafkah (belanja dapur) untuk keluarga, membuat berbagai makanan di luar kebiasaan, dan lain-lain yang biasanya dikerjakan pada hari-hari raya.

[3]. Tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah

Bid’ah ini merupakan mitos kejawen, bulan muharram (suro) dianggap sebagai bulan sial. Oleh karena itu, mereka tidak mau mengadakan acara-acara pernikahan, khitanan dan sebagainya (hampir sama dengan mitos syi’ah). Atau tidak mau memulai suatu pekerjaan besar pada bulan ini, seperti membangun rumah dan sebagainya.

Keyakinan dan mitos semacam ini merupakan khurafat yang harus dijauhi oleh setiap mukmin. Dan meyakini adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan, sedangkan mencela Allah yang mencitptakannya. Maka hal ini dilarang dalam syari’at Islam, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah kamu mencela dahr (waktu) karena Allah itu adalah dahr”
[HR Muslim no 2246 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Maksudnya bahwa Allah adalah pencipta waktu sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang menjadi penafsir hadits di atas. Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Allah berfirman, ‘Anak-anak Adam mencela dahr (waktu), padahal aku adalah (pencipta) dahr, di tangan-Ku (perputaran) malam dan siang” [HR Bukhari no. 5827 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Hari, bulan dan tahun yang Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau nahas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah, yang tidak diketahui hambanya kecuali setelah terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapapun, dimanapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus rela menerima takdir tersebut.

Disamping itu, keyakinan adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya :Thiyarah itu suatu kesyirikan (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya 3x) dan tidak ada satupun dari kita kecuali (pernah melakukan thiyarah), tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghilangkannya dengan
(cara) bertawakkal (kepadaNya)” [HR Abud Dawud no. 3910, Ibnu Majah no. 3538, Ahmad I/389 dan yang lainnya]

[4]. Membaca surat-surat Al-Qur’an yang memuat kisah Nabi Musa ‘Alaihis salam setelah shalat subuh pada hari Asyuro.

Hal itu dikerjakan dalam rangka memperingati kemenengan Nabi Musa ‘Alaihis salam atas Fir’aun dan bala tentaranya yang terjadi pada hari tersebut.
Dibeberapa tempat di Indonesia acara peringatan kemenangan Nabi Musa ‘Alaihis salam ini diwujudkan dalam bentuk selamatan/syukuran dengan berbagai cara (seperti tirakatan).

[5]. Menghidupkan malam Syura dengan shalat dan ibdah lainnya.

Hal ini merupakan bid’ah dan belum pernah ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya. Hadits tentang shalat Asyuro adalah hadits palsu sebagaimana disebutkan oleh Suyuthi dalam Al-La’ali Al-Mashnu’ah.

[6]. Membaca do’a Asyuro yang tercantum dalam kumpulan wirid, dengan keyakinan bahwa barangsiapa yang membacanya maka dia tidak akan mati pada tahun tersebut.

Hal ini merupakan bid’ah yang mungkar.

[7]. Melemparkan sesajian/tumbal ke laut.

Di Indonesia hal ini banyak dijumpai di beberapa tempat pesisir pantai laut.
Mereka melakukan hal itu di bulan Muharram dengan keyakinan akan mencegah amarah penununggu laut dan akan mendatangkan keberkahan laut berupa ikan yang banyak. Membuang atau memberi sesajian ke laut dengan keyakinan seperti itu jelas merupakan kesyirikan.
Masih banyak lagi kebid’ahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang awam di bulan Muharram, seperti memandikan benda-benda pusaka, mencari berkah dari kotoran kerbau yang diyakini keramat, thawaf di kuburan, bangunan dan lain-lain.

[Disalin secara ringkas dari Majalah Fatawa Vol. 01/Th II/1425H-2004M dari artikel Sunnah dan Bid’ah di Bulan Suro oleh Abu Humaid Arif Syarifuddien]

http://akhmadkhawarizmi.blogspot.com/2009/01/bidah-bidah-yang-dilakukan-di-bulan.html

0 comments:

Post a Comment