Suatu saat Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya:
Nabi saw bersabda : “Mahukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang menzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu.” (HR. Baihaqi)
“Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim).
“Mahukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada solat dan tsaum (puasa)?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan orang yang sedang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menyatukan berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal soleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Saudaraku, dari hadis di atas dapat kita lihat bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan persaudaraan. Oleh karena itu, memperkukuhkan ukhuwah islamiyah merupakan salah satu tugas penting bagi kita. Namun, bagaimanakah utk kita memastikan agar ruh ukhuwah tetap kukuh? Rahasianya ternyata terletak pada sejauhmana kita mampu bersungguh-sungguh untuk memiliki hati yang bersih dan selamat. Karena, kalbu yang kotor dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk sangka, pasti akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang sekaligus dapat merosak ukhuwah. Mengapa? Sebab bila di antara sesama muslim saja sudah saling berburuk sangka, saling iri, dan saling mendengki, mana mungkin akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?
Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah bersatu dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam hati yang kusam dan busuk inilah tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang muncul dalam pelbagai bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama muslim.
Dengan demikian, bila ada dua bangsa yang berperang, sekurang-kurangnya pasti salah satu di antara mereka adalah sekumpulan manusia buruk akhlak, tamak, dan terbius oleh gejolak nafsu untuk melemahkan pihak yang lain. Bila dua suku berseteru, setidaknya satu di antara mereka adalah manusia bermental rendah dan hina karena (mungkin) merasa sukunya lebih tinggi derajat kemuliaannya. Bila dua keluarga tak bertegur sapa, sekurang-kurangnya salah satunya telah terselimuti hawa nafsu, sehingga menganggap permusuhan adalah satu-satunya langkah yang bisa menyelesaikan masalah.
Selanjutnya, tanyakanlah kepada diri masing-masing. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak enak hati terhadap teman, adik, kakak, abang atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih menyimpan kesal kepada teman seperjuangan karena ia lebih diperhatikan orang? Adakah kita saat ini masih menyimpan rasa ghill (dengki) terhadap saudara seiman sesama kader dakwah, lantaran mungkin nasibnya lebih baik dari kita?
Bila demikian halnya, mana mungkin terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang muslim yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat muslim yang diperangi? Mana mungkin kita mampu bangkit serentak manakala hak-hak muslim dirampas oleh kaum yang zalim? Mana mungkin kita mampu utk mengulangi kembali kejayaan umat Islam?
Nah, dari sinilah bermulanya langkah untuk merenung dan mengkaji semula sejauhmana kita telah memahami makna ukhuwah islamiyah. Karena, dari sini juga Rasulullah Saw memulakan amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah mengubah karakter dasar manusia. Karakter akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran adalah jihad karena kesadaran merupakan sebutir mutiara yang hilang tersapu oleh berlapis-lapis hawa nafsu.
Manakala saat kesadaran telah tersemai, jangan hairan jika Umar bin Khattab yang pemberang adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang sahabat meletakkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas hamba yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah, dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sementara kaum Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat
Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah bersatu dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam hati yang kusam dan busuk inilah tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang muncul dalam pelbagai bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama muslim.
Dengan demikian, bila ada dua bangsa yang berperang, sekurang-kurangnya pasti salah satu di antara mereka adalah sekumpulan manusia buruk akhlak, tamak, dan terbius oleh gejolak nafsu untuk melemahkan pihak yang lain. Bila dua suku berseteru, setidaknya satu di antara mereka adalah manusia bermental rendah dan hina karena (mungkin) merasa sukunya lebih tinggi derajat kemuliaannya. Bila dua keluarga tak bertegur sapa, sekurang-kurangnya salah satunya telah terselimuti hawa nafsu, sehingga menganggap permusuhan adalah satu-satunya langkah yang bisa menyelesaikan masalah.
Selanjutnya, tanyakanlah kepada diri masing-masing. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak enak hati terhadap teman, adik, kakak, abang atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih menyimpan kesal kepada teman seperjuangan karena ia lebih diperhatikan orang? Adakah kita saat ini masih menyimpan rasa ghill (dengki) terhadap saudara seiman sesama kader dakwah, lantaran mungkin nasibnya lebih baik dari kita?
Bila demikian halnya, mana mungkin terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang muslim yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat muslim yang diperangi? Mana mungkin kita mampu bangkit serentak manakala hak-hak muslim dirampas oleh kaum yang zalim? Mana mungkin kita mampu utk mengulangi kembali kejayaan umat Islam?
Nah, dari sinilah bermulanya langkah untuk merenung dan mengkaji semula sejauhmana kita telah memahami makna ukhuwah islamiyah. Karena, dari sini juga Rasulullah Saw memulakan amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah mengubah karakter dasar manusia. Karakter akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran adalah jihad karena kesadaran merupakan sebutir mutiara yang hilang tersapu oleh berlapis-lapis hawa nafsu.
Manakala saat kesadaran telah tersemai, jangan hairan jika Umar bin Khattab yang pemberang adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang sahabat meletakkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas hamba yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah, dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sementara kaum Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat tinggal dengan saudara-saudaranya seiman seaqidah tersebut.
Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan dengan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, nampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang mampu mencoret keluhuran akhlak. Pribadi-pribadi yang pelbagai, sesederhana apa pun, adalah buah fikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah-masalah yang bersarang pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya sehingga berbicara dengannya selalu membuahkan kelapangan.
Tatapan matanya adalah tatapan bijak bestari sehingga siapa pun niscaya akan merasakan kesejukan dan ketenteraman. Wajahnya adalah cahaya cemerlang yang sedap dipandang lagi mengesankan karena ia memancarkan kejujuran itikad. Sementara itu, senyum yang tak pernah lekang menghias bibirnya adalah sedekah yang jauh lebih mahal nilainya daripada intan mutiara. Tak akan pernah terucap dari lisannya, kecuali untaian kata-kata yang penuh hikmah, menyejukkan, membangkitkan keinsafan, dan meringankan beban derita siapapun yang mendengarkannya.
Berjabat tangannya yang hangat adalah jabat tangan yang mempertautkan seerat-eratnya dua hati dan dua jiwa yang tiada terlepas, kecuali diawali dan diakhiri dengan ucapan salam. Kedua tangannya teramat mudah terulur bagi siapa pun yang memerlukannya.
Sementara itu, bimbingan kedua tangannya, pastu selalu akan berada di majlis-majlis yang diberkati Allah Azza wa Jalla.
Dengan demikian, umat Islam harus berhijrah dari berpecahbelah menuju ukhuwah islamiyah, seraya menepis sisa-sisa jahiliyah dari hati ini. Memiliki qalbu yang bersih dan selamat harus berada ditempat paling tinggi dari segala-galanya agar kita mampu menilai diri dengan sebaik-baiknya dan menatap jauh ke depan agar Islam benar-benar dapat termanifestasikan menjadi rahmatan lil ‘aalamiin dan umat pemeluknya benar-benar menjadi “sebaik-baik umat” yang diturunkan di tengah-tengah manusia.
Wallahu a’lam..
me: Pilih lah kami YA ALLAH sbg antara hamba2MU yg sangat suka memaafkan saudara2 kami yg lain. Amin
http://nzloveislam.blogspot.com/2009/03/memberi-maaf.html
---------------------------------------------------
0 comments:
Post a Comment