"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya."
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini Shahih, diriwayatkan oleh :
1. Muslim (no. 2564).
2. Imam Ahmad (II/277, 311-dengan ringkas, 360)
3. Ibnu Mâjah (no. 3933, 4213-secara ringkas)
4. Al-Baihaqi (VI/92; VIII/250)
5. Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIII/130, no. 3549).
SYARAH HADITS
Sabda Nabi `Laa tahaasadu, ` artinya, jangan sebagian kalian dengki kepada sebagian yang lain. Sifat dengki ada pada watak manusia karena manusia tidak suka diungguli orang lain dalam kebaikan apa pun.
Terkait perasaaan dengki ini, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok :
Kelompok Pertama
Kelompok ini terbagi menjadi :
a. Yang berusaha menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang didengki dengan berbuat zhalim kepadanya, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Kemudian berusaha mengalihkan kenikmatan tersebut kepada dirinya.
b. Yang berusaha menghilangkan kenikmatan dari orang yang ia dengki tanpa menginginkan nikmat itu berpindah kepadanya. Ini merupakan dengki paling buruk dan paling jelek.
Ini adalah dengki yang tercela, dilarang dan merupakan dosa iblis yang dengki kepada Nabi Adam Alaihissallam ketika melihat beliau mengungguli para malaikat, karena Allâh menciptakan beliau dengan tangan-Nya sendiri, menyuruh para malaikat sujud kepada beliau, mengajarkan nama segala hal kepada beliau, dan menempatkan beliau di dekat-Nya. Iblis tidak henti-hentinya berusaha mengeluarkan Nabi Adam Alaihissallam dari surga hingga akhirnya beliau dikeluarkan darinya.
Sifat dengki seperti inilah yang melekat pada orang-orang yahudi. Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dalam banyak ayat al-Qur'ân tentang hal itu. Seperti firman-Nya :
"Banyak diantara ahli kitab yang ingin sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam hati mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka…" [al-Baqarah/2:109]
Atau firman Allâh Azza wa Jalla :
"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allâh kepadanya ?" [an-Nisâ’/4:54]
Imam Ahmad rahimahullah dan at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits dari az-Zubair bin al-Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :
"Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai ? Sebarkanlah salam diantara kalian." [1]
Kelompok Kedua
Kelompok ini, jika dengki kepada orang lain, mereka tidak menuruti perasaan dengkinya dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang ia dengki, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Mereka ini terbagi dalam dua jenis :
1. Yang tidak kuasa memupus rasa dengki dari hatinya. Perasaan ini telah menguasai dirinya. Orang yang seperti ini tidak berdosa.
2. Yang sengaja memunculkan kedengkian pada dirinya, mengulangi lagi. Ini dilakukan berulang kali disertai harapan kenikmatan yang melekat pada orang yang didengki sirna. Dengki seperti ini mirip dengan azam (tekad) untuk melakukan kemaksiatan. Dengki seperti ini kecil kemungkinan terhindar dari perbuatan zhalim terhadap yang ia dengki, kendati hanya dengan perkataan. Dengan prilakunya yang zhalim ia berhak mendapatkan dosa.
Kelompok Ketiga
Kelompok ini, jika dengki, ia tidak mengharapkan nikmat orang yang ada pada orang yang didengki itu hilang, namun ia berusaha mendapatkan kenikmatan yang sama dan ingin seperti dia. Jika kenikmatan yang dikejarnya adalah kenikmatan dunia, maka itu tidak ada nilai kebaikannya, seperti perkataan orang-orang yang mabuk dunia, "…Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun…" [al-Qashash/28:79].
Jika nikmat yang dikejar itu nikmat akhirat, maka itu baik. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang : Orang yang diberi al-Qur'ân oleh Allâh kemudian ia melaksanakannya di pertengahan malam dan pertengahan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allâh kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang" [2]
Dengki seperti ini dinamakan ghibthah.
Kelompok Keempat
Kelompok ini, jika mendapati sifat dengki pada dirinya, ia berusaha memusnahkannya, berbuat baik kepada yang didengki, mendo’akannya dan menceritakan kelebihan-kelebihan orang yang didengki. Dia tidak hanya berusaha menghilangkan rasa dengki pada dirinya namun dia juga berusaha menggantikannya dengan rasa senang melihat saudaranya lebih baik lagi. Ini termasuk derajat iman tertinggi. Orang yang seperti ini adalah mukmin sejati yang mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.[3]
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh dengki. Karena ia adalah sifat tercela, sifat orang-orang Yahudi dan dapat merusak amal. Allâh Subhanahu wa Ta'ala melarang manusia mengharapkan segala kelebihan dan keutamaan yang Allâh Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada orang lain. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang dilebihkan Allâh kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allâh sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu". [an-Nisâ'/4:32]
Dampak Buruk Dari Sikap Hasad [4]
Orang yang hasad akan terjerumus ke dalam beberapa bahaya, diantaranya :
1. Dengan hasad berarti dia membenci apa yang telah Allâh Azza wa Jalla tetapkan. Karena, benci kepada nikmat yang Allâh berikan kepada orang lain berarti benci terhadap ketentuan Allâh Subhanahu wa Ta'ala.
2. Hasad akan menghapus kebaikan-kebaikannya sebagaimana api menghabiskan kayu bakar.
3. Hati orang yang hasad akan selalu merasa sedih dan susah. Setiap kali melihat nikmat Allâh k atas orang yang ia dengki, ia akan berduka dan susah dan begitu seterusnya.
4. Hasad berarti menyerupai orang Yahudi. Padalah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka[5]
5. Bagaimanapun kuatnya hasad, itu tidak akan menghilangkan nikmat Allâh Azza wa Jalla dari orang lain.
6. Hasad dapat menghilangkan kesempurnaan iman, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang ia sukai bagi dirinya" [6]
7. Hasad dapat melalaikan seseorang dari memohon nikmat kepada Allâh Subhanahu wa Ta'ala.
8. Hasad dapat menyebabkan dirinya meremehkan nikmat Allâh Subhanahu wa Ta'ala yang ada pada dirinya.
9. Hasad, akhlak tercela, karena ia selalu memantau nikmat Allâh pada orang lain dan berusaha menghalanginya dari manusia.
10. Jika orang yang hasad (dengki) sampai bertindak zhalim kepada yang didengki, maka yang didengki itu akan mengambil kebaikan-kebaikannya pada hari kiamat.
Kesimpulannya bahwa hasad merupakan akhlak tercela, tetapi sangat disayangkan sifat ini masih banyak ditemui di kalangan tengah masyarakat. Wallaahul Musta’aan, nas-alullaahal ‘afwa wal ‘aafiyah.
Najasy ditafsirkan oleh banyak Ulama dengan najasy dalam jual beli. Yaitu menaikkan harga suatu barang yang dilakukan oleh orang yang tidak berminat membelinya untuk kepentingan penjual supaya untungnya lebih besar atau untuk merugikan pembeli. Termasuk praktek najasy yaitu memuji barang dagangan seorang penjual supaya laku atau menawarnya dengan harga yang tinggi padahal dia tidak berminat. Apa yang dilakukannya hanya untuk mengecoh pembeli sehingga tidak merasa kemahalan kalau jadi beli. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, diriwayatkan bahwasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang najasy.[7]
Ibnu Abi Aufa rahimahullah mengatakan, “Nâjisy (pelaku najasy) adalah pemakan harta riba dan pengkhianat.” [8]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para Ulama sepakat bahwa pelaku najasy telah bermaksiat kepada Allâh k jika ia tahu najasy itu terlarangan.” [9]
Lalu bagaimana dengan keabsahan jual-beli tersebut ? Ada Ulama yang berpendapat, jika pelaku najasy adalah penjualnya atau orang yang disuruh penjual untuk melakukan najasy, maka jual-beli itu tidak sah. Sebagian besar fuqaha’ berpendapat bahwa jual-beli najasy sah secara mutlak. Ini pendapat Abu Hanîfah, Imam Mâlik, dan merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Hanya saja, Imam Mâlik dan Imam Ahmad menegaskan bahwa pembeli mempunyai khiyâr (hak pilih antara melanjutkan jual-beli atau membatalkannya) jika ia tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya dan ditipu dengan penipuan di luar batas kewajaran.
Atau bisa juga najasy dalam hadits diatas ditafsirkan dengan penafsiran yang lebih umum. Yaitu semua muamalah yang mengandung unsur penipuan atau makar. Dalam al-Qur'ân, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat orang-orang kafir dan munafik ialah membuat makar terhadap para nabi dan pengikut mereka. Sungguh indah apa yang dikatakan Abu Al-Athiyah,
Dunia tidak lain adalah agama
dan agama tidak lain adalah akhlak mulia
sesungguhnya makar dan penipuan itu di neraka
karena keduanya sifat orang-orang munafik.
Makar diperbolehkan dilakukan terhadap orang yang memang diperbolehkan untuk diganggu, yaitu orang-orang kafir yang wajib diperangi, seperti sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Perang adalah tipu daya" [10]
Sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kaum Muslimin saling membenci karena mengikuti hawa nafsu. Karena Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka bersaudara. Bersaudara berarti saling mencintai, bukan saling membenci. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkan salam di antara kalian." [11]
Allâh telah mengharamkan atas kaum Muslimin segala yang berpotensi menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka. Allâh berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka tidakkah kamu berhentilah (dari mengerjakan pekerjaan itu)". [al-Mâidah/5:91]
Oleh karena itu, perbuatan mengadu domba diharamkan karena bisa menyebabkan permusuhan dan kebencian. Di sisi lain, berbohong untuk mendamaikan manusia diperbolehkan dan Allâh menganjurkan mendamaikan mereka.
Diriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Maukah kalian aku jelaskan sesuatu yang lebih baik daripada derajat shalat, puasa dan sedekah?' Para Shahabat berkata, 'Ya.' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Mendamaikan orang yang berselisih. Dan rusaknya hubungan persaudaraan adalah pemotong (agama).". [12]
Adapun benci karena Allâh Subhanahu wa Ta'ala, maka itu termasuk bagian terkuat dari keimanan dan tidak termasuk benci yang dilarang. Jika seseorang melihat keburukan pada saudaranya kemudian ia membenci saudaranya karena keburukan tersebut, maka ia mendapat pahala, kendati saudaranya mengajukan alas an yang bisa diterima. Seperti perkataan ‘Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu, ”Dahulu kami mengenali kalian karena Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di tengah kita-kita, wahyu turun, dan Allâh menjelaskan kepada kita tentang perihal kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Rasûlullâh n telah wafat dan wahyu terputus. Ketahuilah, kita mengenali kalian sesuai dengan pengetahuan kita tentang kalian. Ketahuilah, barangsiapa di antara kalian memperlihatkan kebaikan, maka kita menduganya baik dan mencintainya karenanya. Dan barangsiapa memperlihatkan keburukan, kami menduganya buruk dengannya dan membencinya karenanya, sementara rahasia kalian ada di antara kalian sendiri dan Rabb Azza wa Jalla". [13]
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Abu ‘Ubaid berkata, “Tadâbur (saling membelakangi) ialah saling memutus hubungan dan saling mendiamkan.”
Dari Abu Ayyûb al-Anshâri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu, namun yang ini berpaling dari satunya dan yang satunya juga berpaling darinya. Orang yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai mengucapkan salam" [14]
Para Ulama berbeda pendapat apakah sikap ‘mendiamkan’ itu dianggap berakhir dengan ucapan salam ? Sejumlah Ulama berkata bahwa sikap ‘mendiamkan’ itu berakhir dengan ucapan salam. Ini diriwayatkan dari al-Hasan rahimahullah dan Imam Mâlik dalam riwayat Ibnu Wahb. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari kemudian mati, maka ia masuk Neraka". [15]
Jika pada hari ketiga mereka bertemu, lalu salah seorang mengucapkan salam dan yang lain menjawab, maka kedua berhak mendapatkan pahala. Namun jika tidak dijawab salamnya, maka yang tidak menjawab ini menanggung dosanya.[16]
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyalahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Seseorang tidak boleh menjual diatas penjualan saudaranya dan tidak boleh melamar lamaran saudaranya kecuali jika ia mengizinkannya". [17]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Seorang Muslim tidak boleh menawar barang yang sedang dalam penawaran saudaranya".[18]
Keberadaan kata "Muslim" dalam hadits diatas menunjukkan bahwa ini merupakan hak orang Muslim atas Muslim lainnya. Ini tidak berlaku pada non-muslim. Ini pendapat al-Auzâ’i rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah. Tapi, banyak juga para fuqahâ’ (ulama ahli fikih) berpendapat bahwa larangan pada hadits di atas berlaku umum bagi Muslim dan non-muslim.
Pengertian menjual barang di atas penjualan saudaranya ialah si A membeli sesuatu dari si B kemudian si C datang menawarkan barangnya kepada si A agar ia membelinya dan membatalkan jual-beli pertama.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ‘Wahai hamba-hamba Allah, jadilah kalian bersaudara’.
Dalam potongan hadits ini terdapat isyarat bahwa jika kaum Muslimin meninggalkan sikap saling dengki, saling najasy, saling membenci, saling membelakangi, dan menjual di atas penjualan saudaranya, maka mereka pasti akan menjadi bersaudara.[19]
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ‘Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak menghinakannya’.
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini diambil dari firman Allâh Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian.” [al-Hujurât/49:10]
Jika kaum Mukminin telah bersaudara, maka mereka diperintahkan untuk melakukan segala yang bisa membuat hati bersatu dan dilarang mengerjakan segala yang membuat hati saling benci. Mereka juga diperintahkan untuk menyalurkan atau memberikan manfaat buat saudaranya dan menghindarkannya dari segala yang mencelakakan. Di antara mudharat terbesar yang harus disingkirkan dari saudara adalah tindak kezhaliman. Kezhaliman tidak saja haram dilakukan terhadap orang Muslim, namun juga haram dilakukan terhadap siapa pun.
Di antara hal yang dilarang ialah menelantarkan orang Muslim lainnya. Seorang Muslim diperintahkan menolong saudaranya yang muslim. Rasûlullâh bersabda Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Tolonglah saudaramu yang zhalim atau dizhalimi. Kami bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, aku menolongnya jika ia dizhalimi. Bagaimana aku menolongnya jika ia menzhalimi?’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau cegah dia dari berbuat zhalim, itulah pertolonganmu terhadapnya".[20]
Di antara hal lain yang dilarang ialah berdusta kepada Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak boleh berbicara dusta kepada saudaranya. Dia harus berbicara dengan jujur.
Di antara hal lain yang dilarang ialah menghina orang Muslim. Karena perilaku buruk ini bersumber dari kesombongan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Kesombongan ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". [21]
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang (diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan yang (diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok)...” [al-Hujurât/49:11]
Jadi, orang sombong itu melihat dirinya sebagai figur sempurna dan melihat orang lain selalu kurang, karenanya ia menghina dan meremehkan mereka.[22]
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam », Takwa itu disini –beliau sambil memberi isyarat ke dadanya tiga kali-.
Di dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terdapat isyarat bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allâh k itu ditentukan dengan ketakwaannya. Orang yang dipandang hina oleh masyarakat karena lemah dan miskin, bisa jadi lebih mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla daripada orang yang terhormat di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "…Sungguh, orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling bertakwa…” [al-Hujurât/49:13]
Ketakwaan seseorang itu letaknya di hati, tidak ada yang dapat melihat hakikatnya kecuali Allâh Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya Allâh tidak melihat wajah dan harta kalian, namun Allâh melihat hati dan amal perbuatan kalian".[23]
Bisa jadi orang yang mempunyai wajah tampan (cantik), kekayaan melimpah, terpandang di dunia, namun hatinya hampa dari takwa. Juga bisa jadi orang yang tidak mempunyai apa-apa, namun hatinya penuh dengan takwa sehingga ia menjadi yang termulia di sisi Allâh Azza wa Jalla. Kondisi inilah yang sering terjadi. Disebutkan dalam hadits, dari Hâritsah bin Wahb bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Maukah kalian aku tunjukkan penghuni surga; yaitu setiap orang lemah yang dianggap lemah. Seandainya ia bersumpah atas nama Allâh, pasti dikabulkan. Maukah kalian aku jelaskan penghuni neraka yaitu setiap orang yang congkak, angkuh dan sombong.”". [24]
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang berjalan melewati Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau bertanya kepada orang yang duduk di samping beliau, ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?’ Orang itu menjawab, ‘Ia termasuk orang-orang yang terhormat. Ia layak dinikahkan jika melamar, layak dibela jika ia minta pembelaan, dan ucapannya layak didengar.’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diam. Setelah itu, ada orang lain lagi lewat. RasûlullâhShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang duduk di samping beliau, ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang tersebut?’ Orang tersebut berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, ia seorang Muslim yang fakir. Ia pantas ditolak jika melamar, tidak dibela jika minta pembelaan dan perkataannya tidak layak diperhatikan.’ Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang ini (orang kedua) lebih baik daripada isi bumi seperti orang yang pertama". [25]
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ‘cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim’.
Maksudnya, cukuplah menjadi sebuah keburukan jika orang Muslim menghina saudaranya yang muslim. Sebab perilaku buruknya ini hanya terdorong kesombongannya, padahal sombong termasuk perangai yang paling buruk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya masih ada kesombongan, kendati hanya sebiji sawi." [26]
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam ‘Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram darah, harta dan kehormatannya’.
Sabda ini termasuk yang sering disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam khutbah-khutbah beliau. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikannya saat haji Wada’, hari Qurban, hari Arafah dan hari kedua dari hari-hari Tasyriq. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini".[27]
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, sebagian shahabat melakukan perjalanan bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian salah seorang dari mereka tidur. Salah seorang dari mereka pergi ke tali orang yang tidur tersebut dan mengambilnya, akibatnya orang yang tidur tersebut kaget. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Orang Muslim tidak boleh menakut-nakuti orang Muslim lainnya".[28]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang ghibah. Beliau bersabda, “Menggunjing (ghibah) ialah engkau menyebutkan keburukan saudaramu.” Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan memang benar?’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika apa yang engkau katakan itu benar, berarti engkau telah menggunjingnya. Jika apa yang engkau katakan tidak benar, berarti engkau telah berdusta.’"[29]
Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa orang Muslim tidak boleh diganggu dengan cara apa pun, baik perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang Mukmin dan Mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." [al-Ahzâb/33:58]
Allâh Azza wa Jalla menjadikan kaum Mukminin bersaudara agar saling menyayangi dan mengasihi. Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan simpati ibarat satu tubuh. Jika salah satu organ tubuhnya sakit, maka seluruh oragan tubuh yang lain mengeluh sakit seperti demam dan tidak bisa tidur." [30]
FAWAID HADITS:
1. Hasad (dengki) itu haram
2. Sistem jual-beli najasy (meninggikan harga untuk menipu pembeli) itu haram.
3. Larangan saling membenci dan perintah untuk saling mencintai.
4. Larangan menawar atau menjual atas tawaran-penjualan saudaranya.
5. Wajib memupuk persaudaraan antar kaum Muslimin.
6. Darah, harta dan kehormatan seorang Muslim haram atas muslim lainnya.
7. Hati merupakan sumber segala sesuatu.
8. Takwa tempatnya di hati dan dibuktikan dengan amal shalih.
10.Takwa dan niat yang shalih adalah timbangan bagi Allâh atas hamba-hamba-Nya.
Maraji’:
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Shahîh Muslim
4. Musnad Imam Ahmad
5. Sunan Abu Dawud
6. Sunan at-Tirmidzi
7. Sunan an-Nasa-i
8. Sunan Ibni Majah
9. Sunan al-Kubra lil Baihaqi.
10 Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi.
11. Irwaa-ul Ghaliil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
12. Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
13. Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
14. Qawaa-id wa Fawaa-id min Arba’in an-Nawawiyyah.
15. At-Tamhiid.
16. Majmu’ al-Fataawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah.
17. Kitabul ‘Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hasan. HR. at-Tirmidzi (no. 2510 ), Ahmad (I/165, 167), dan lainnya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (III/28, dalam bahasan hadits no. 777 dan Hidâyatur Ruwât no. 4966).
[2]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 5025, 7529), Muslim (no. 815), dan lainnya dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu'anhuma.
[3]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/260-263)
[4]. Dinukil dari Kitâbul ‘Ilmi (hlm. 72-75).
[5]. Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/50, 92), dan Abu Dawud (no. 4031), dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6149) dan Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 203-204).
[6]. Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 13) Muslim (no. 45), Nasâ-i (VIII/115), at-Tirmidzi (no. 2515), Dârimi (II/307), Ibnu Mâjah (no. 66), dan Ahmad (III/176, 206, 251, 272, 278, 279), dari Anas Radhiyallahu 'anhu .
[7]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 2142, 6963), Muslim (no. 1516), dan lainnya.
[8]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 2675).
[9]. At-Tamhîd (XII/290).
[10]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 3030), Muslim (no. 1739), dan lainnya dari Shahabat Jabir Radhiyallahu 'anhu. Dan diriwayatkan juga oleh beberapa shahabat lainnya. Lihat, Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/263-265).
[11]. Shahih. HR. Muslim (no. 54), Abu Dâwud (no. 5193), at-Tirmidzi (no. 2688), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[12]. Shahih. HR. Ahmad (VI/444-445), Abu Dâwud (no. 4919), Ibnu Hibbân (no. 1982-al-Mawârid), dan at-Tirmidzi (no. 2509), beliau berkata, ‘Hadits ini hasan shahih’.
[13]. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/265-267).
[14]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 6077, 6237), Muslim (no. 2560), dan lainnya.
[15]. Shahih. HR. Abu Dâwud (no. 4914) dan Ahmad (II/392). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (VII/64).
[16]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/268-270).
[17]. Shahih. HR. Muslim (no. 1412 (50)).
[18]. Shahih. HR. Muslim (no. 1515 (9)).
[19]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/271).
[20]. Shahih. HR. Bukhari (no. 6952), at-Tirmidzi (no. 2255), Ahmad (III/99, 201), dan lainnya dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[21]. Shahih. HR. Muslim (no. 91) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[22]. Diringkas dari Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/273-275).
[23]. Shahih. HR. Muslim (no. 2564 (33)), Ahmad (II/539), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[24]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 4918, 6071), Muslim (no. 2853)
[25]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 5091, 6447). Lihat, Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/275-278)
[26]. Shahih. HR. Muslim (no. 91)
[27]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 1739) dari Ibnu ‘Abbas c .
[28]. Shahih. HR. Abu Dâwud (no. 5004).
[29]. Shahih. HR. Muslim (no. 2589)
[30]. Shahih. HR. Bukhâri (no. 6011), Muslim (no. 2586), dan lainnya
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://www.almanhaj.or.id/content/2795/slash/0
0 comments:
Post a Comment